Sabtu, 13 Maret 2010

101 Tahun Amir Sjarifuddin


Jakarta– Wajahnya yang sudah mulai keriput itu tak lagi bisa menyembunyikan kependihan yang mendalam. Ingatannya kembali pada peristiwa masa lalu yang telah memaksanya menghilangkan jati diri selama puluhan tahun. Selama puluhan tahun itu pula, ia bersama dengan saudara-saudaranya sepakat untuk tak lagi membahas tentang asal-usul mereka.
Dia adalah Damaris Sjarifuddin, salah satu anak dari mantan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin. Tokoh nasional ini ditembak mati setelah peristiwa Madiun, 1948, yang diklaim sebagai sebuah pemberontakan yang menjadi cikal bakal berdirinya negara komunis, seperti Uni Soviet.
“Selama puluhan tahun, kami terpaksa menyembunyikan identitas kami. Demi keselamatan, kami mengganti nama Sjarifuddin yang ada di belakang nama kami dengan Harahap,” katanya. Ia berdiri di hadapan puluhan orang, baik tua dan muda, yang ketika itu sedang mengenang 101 tahun Amir Sjarifuddin. Ada sejarawan Asvi Warman Adam, mantan Menteri Penerangan Kabinet Amir, Setyadi Reksoprojo, dan Pendeta Jan S Aritonang.
Dia mengatakan tudingan berbagai pihak yang menyebut ayahnya sebagai seorang pemberontak dan yang paling parah, sebutan komunis tidak beragama, sangat menyakitkan. Melalui cerita yang diperoleh dari ibunya, ayahnya adalah orang yang baik dan taat beragama Kristen. Selama hidupnya, Amir lebih banyak mendedikasikan dirinya bagi kemajuan bangsa Indonesia yang merdeka.
“Apa yang salah dengan ayah saya? Hidup ayah hanya untuk negara ini, kenapa mereka memperlakukan ayah saya seperti itu? Yang saya tahu ayah saya adalah orang yang baik dan mengajari anak-anaknya untuk menjadi baik,” katanya.
Sekalipun seorang tokoh nasional, sepak terjang Amir dalam sejarah republik ini memang hanya sedikit dikenal. Penggambaran tentang dia lebih banyak hanya seputar keterlibatannya dalam peristiwa perlawanan oleh PKI di Madiun bersama dengan Muso.
Menurut Setyadi, Amir sangat berjasa bagi berdirinya negeri ini. Bersama dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) Ilegal, Amir berjuang melawan fasisme Jepang. Atas kegiatannya itu, ia hampir dihukum mati oleh Jepang, namun berhasil diselamatkan oleh Soekarno, hingga pada akhirnya kemerdekaan RI berhasil direbut.
Selanjutnya, ketika RI sudah berdiri, Amir mendapat kepercayaan menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan selanjutnya sebagai Perdana Menteri. Sebagai Menhan, ia berusaha mengefektifkan kekuatan bersenjata RI, sedangkan sebagai PM, ia mengusahakan hubungan diplomatik mengenai posisi dan status Indonesia dengan Belanda.
Berbeda dengan PM Sjahrir yang individual, kata Setyadi, Amir lebih memilih mengambil segala kebijakannya berdasarkan kesepakatan front. Sehingga, tak aneh, jika dalam kabinetnya ada wakil dari PNI maupun Masyumi. “Dalam perundingan Renville, semua pihak dilibatkan, namun belakangan mereka menarik diri. Bung Amir yang merasa seperti dikhianati lantas mengundurkan diri sebagai perdana menteri,” kata Setyadi.
Menurut Setyadi, saat menjalankan tugas sebagai Menhan, Amir diberi tugas oleh Bung Karno untuk mempersatukan laskar dan Tentara Republik Indonesia (TRI). Tugas ini merupakan usaha yang sulit.
Selain itu, kata Setyadi, Amir juga berpendapat RI hanya bisa bersandar pada perjuangan kekuatan rakyat, bukan pada tentara konvensional. Tentara RI haruslah tentara rakyat, tidak boleh bersifat elitis, karena bila terpisah dari rakyat mereka tidak berdaya apa-apa. Kelaskaran memilki tradisi akrab dengan rakyat, tetapi memang harus ditingkatkan kedisiplinannya dalam berorganisasi. Ini berbeda dengan tentara didikan Belanda dan Jepang yang umumnya kurang mengerti perlunya keterlibatan rakyat.
Untuk itu, Amir mendirikan badan pendidikan politik tentara untuk menjembatani perbedaan antara kelaskaran dengan tentara reguler. Skema itu sudah mulai dijalankan, tetapi belum dapat berlangsung lama ketika terjadi agresi Belanda.
“Setelah itu Bung Amir tersingkir dari pemerintahan pusat, skema tersebut sama sekali disingkirkan dan diganti dengan Re-Ra (Rekonstruksi dan Rasionalisasi) dari pemerintahan Hatta,” kata Setyadi.
Program Re-ra ini diajukan oleh Panglima Divisi Siliwangi Kolonel AH Nasution, seorang alumni Akademi Militer Hindia Belanda. Anggota TNI yang tadinya beranggotakan 400.000 menjadi 60.000 karena program Re-Ra pemerintahan Hatta. Program ini padahal mengganti konsep Tentara Rakyat. Akibatnya, ini memicu peristiwa di Madiun, perpecahan di tubuh tentara. Tak ada hubungannya dengan Muso ataupun Amir yang ingin mendirikan Soviet Madiun.
Pada saat peristiwa Madiun, kedua tokoh itu sedang menyosialisasikan perubahan organisasi dalam kongres yang rencananya dilaksanakan satu bulan ke depan. Namun, melalui berbagai propanganda, peristiwa Madiun dinilai sebagai pemberontakan.
“Padahal ini semata-mata karena Re-Ra. Pelaksanaan Re-Ra tidak terlepas dari keyakinan politik yang dianut Kabinet Hatta bahwa Amerika Serikat bersedia membantu RI dalam persengketaannya dengan Belanda jika Indonesia dibersihkan dari kaum Kiri. Situasinya mendesak dan Amir Syarifuddin menjadi korbannya,” katanya.
Peristiwa inilah yang kemudian disebut oleh sejarawan Asvi sebagai revolusi memakan anaknya sendiri. Sri Sulastri, mantan narapidana politik (napol) Orba, menyebut sebuah perjuangan yang tak mengerti kontradiksi pokok dan memakan bangsa sendiri. (tutut herlina)

Sumber:  http://www.sinarharapan.co.id/berita/0806/04/nas03.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar